Kamis, 11 Juni 2015

Sahabat Sejati, Salman Al Farisi dan Abu Darda'

Print Friendly and PDF
Ketika aku sedang melepaskan lelah sesaat di teras masjid hingga menunggu adzan dhuhur berkumandang. Datanglah beberapa mahasiswi (genggong gitu dah…) dan duduk disebelahku. Mereka tengah asyik berbincang-bincang mengenai gebetan cowok salah satu sahabatnya itu. Dan secara sengaja salah satu diantara mereka membuka gallery foto di Smartphone si empunya gebetan (hehehe…SMP banget dah mereka#ngakak). Si empunya langsung ngambek dan tidak memberitahukan yang mana gebetan yang ia bangga-banggakan tadi, sekalinya ngasih tau mereka disuruh janji telebih dahulu agar tidak suka ama dia karena takut ditikung oleh sahabat-sahabatnya itu. (OMG….separah itukah mereka, sebenarnya mereka itu bersahabat apa berteman sih…bener- bener SMP dah mereka.heheh#bathinku)
Memang ada juga sih ketika kita bersahabat dan sahabat kita itu berusaha mengkhianati kita dan ada juga sahabat kita marah ketika dia menyukai seseorang tapi orang tersebut malah menyukai sahabat kita sendiri yang akhirnya terjadi perang dingin diantara persahabatan. Seketika aku langsung teringat kisah sahabat Rasulullah yaitu Abu Darda’ dan Salman Al farisi.
Salman Al Farisi adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Persia. Salman sengaja meninggalkan kampung halamannya untuk mencari cahaya kebenaran. Kegigihannya berbuah hidayah Allah dan pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah. Beliau terkenal dengan kecerdikannya dalam mengsulkan pengalian parit di sekelilimh kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq.
Salman Al farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi sahalihah juga telah mengambil tempat dihatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci.
Tapi bagaimanapun ia merasa asing disini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahsa, dan rupa-rupa belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara unutknya dalam khitbah, pelamaran. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada sahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
“Subhanallah…wal hamdulillah….”girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shaliha lagi bertaqwa.
 “Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah SAW, sampai-sampai beliau menyebutkan sebagai ahli bait-nya. Saya datang unutk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda unutk dipersuntingnya, “fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat bani Najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah
“menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia.”
Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini menantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Abu Darda’ dan Salman menunggu dengan berdebar-debar hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang dengan puterinya.
“MAafkan kami atas keterusterangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang mewakili puterinya.
“Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridho Allah saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Keterusterangan yang diluar perkiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang putri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasan bercampur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini.
“Allahu Akbar!” seru Salman,” Semua mahar dan nafkah yang kupersipakan ini akan aku serahkah pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al farisi. Ia begitu paham bahwa cinta, betapapun besarnya kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qobul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat paham akan arti persahabatn sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh rasulullah SAW dengannya. BUkanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagian saudaranya. Buaknlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya.
“Tidaklah seorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk  saudaranya yang ia cintai untuk dirinya.” (H.R Bukhari).
Itulah sahabat yang seusngguhnya, dimana keikhlasan selalu ada untuk yang terbaik. Bukan amarah yang ditunjukkan. Masya Allah…..semoga kita senantiasa mampu meneladani beliau.
Sahabat sejati adalah sahabat yang selalu ada dalam hidup kita
Mengalir dalam aliran darah kita
Salju dalam hati dikala amarah
Kaya akan keikhlasan
Bukanlah membenarkan melainkan pembenaran
Disaat memang kita salah
Sahabat….
Bagaikan udara yang terus kita hirup
Selalu ada


Referensi:
Islam Itu Indah oleh Ustadzah Oki Setiana Dewi
Kisah Salaf Muslim