Ketika aku sedang melepaskan lelah sesaat
di teras masjid hingga menunggu adzan dhuhur berkumandang. Datanglah beberapa
mahasiswi (genggong gitu dah…) dan duduk disebelahku. Mereka tengah asyik
berbincang-bincang mengenai gebetan cowok salah satu sahabatnya itu. Dan secara
sengaja salah satu diantara mereka membuka gallery foto di Smartphone si
empunya gebetan (hehehe…SMP banget dah mereka#ngakak). Si empunya langsung
ngambek dan tidak memberitahukan yang mana gebetan yang ia bangga-banggakan
tadi, sekalinya ngasih tau mereka disuruh janji telebih dahulu agar tidak suka
ama dia karena takut ditikung oleh sahabat-sahabatnya itu. (OMG….separah itukah
mereka, sebenarnya mereka itu bersahabat apa berteman sih…bener- bener SMP dah
mereka.heheh#bathinku)
Memang ada juga sih ketika kita bersahabat
dan sahabat kita itu berusaha mengkhianati kita dan ada juga sahabat kita marah
ketika dia menyukai seseorang tapi orang tersebut malah menyukai sahabat kita
sendiri yang akhirnya terjadi perang dingin diantara persahabatan. Seketika aku
langsung teringat kisah sahabat Rasulullah yaitu Abu Darda’ dan Salman Al
farisi.
Salman Al Farisi adalah salah seorang
sahabat Nabi SAW yang berasal dari Persia. Salman sengaja meninggalkan kampung halamannya
untuk mencari cahaya kebenaran. Kegigihannya berbuah hidayah Allah dan
pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah. Beliau terkenal dengan
kecerdikannya dalam mengsulkan pengalian parit di sekelilimh kota Madinah
ketika kaum kafir Quraisy Mekah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam
perang Khandaq.
Salman Al farisi sudah waktunya menikah.
Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi sahalihah
juga telah mengambil tempat dihatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai
sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan
suci.
Tapi bagaimanapun ia merasa asing disini.
Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa.
Madinah memiliki adat, rasa bahsa, dan rupa-rupa belum begitu dikenalnya. Ia
berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik
bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah
berbicara unutknya dalam khitbah, pelamaran. Maka disampaikannyalah gelegak
hati itu kepada sahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
“Subhanallah…wal hamdulillah….”girang Abu
Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia berpelukan. Maka setelah
persiapan dirasa cukup, beriringlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di
penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shaliha lagi
bertaqwa.
“Saya
adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah
telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan
amal jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah SAW,
sampai-sampai beliau menyebutkan sebagai ahli bait-nya. Saya datang unutk
mewakili saudara saya ini melamar putri Anda unutk dipersuntingnya, “fasih Abu
Darda’ berbicara dalam logat bani Najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan
rumah
“menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah
yang mulia.”
Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini
menantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini
sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Abu Darda’ dan Salman menunggu dengan
berdebar-debar hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang dengan
puterinya.
“MAafkan kami atas keterusterangan ini,”
kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang mewakili puterinya.
“Tetapi karena Anda berdua yang datang,
maka dengan mengharap ridho Allah saya menjawab bahwa putri kami menolak
pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian memiliki urusan yang sama, maka
putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Keterusterangan yang diluar perkiraan kedua
sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang putri lebih tertarik kepada pengantar
daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasan bercampur aduk dimana cinta dan
persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu
membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman
memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita simak apa reaksi Salman,
sahabat yang mulia ini.
“Allahu Akbar!” seru Salman,” Semua mahar
dan nafkah yang kupersipakan ini akan aku serahkah pada Abu Darda’, dan aku
akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al
farisi. Ia begitu paham bahwa cinta, betapapun besarnya kepada seorang wanita
tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima,
sebelum ijab qobul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan.
Ia juga sangat paham akan arti persahabatn sejati. Apalagi Abu Darda’ telah
dipersaudarakan oleh rasulullah SAW dengannya. BUkanlah seorang saudara jika ia
tidak turut bergembira atas kebahagian saudaranya. Buaknlah saudara jika ia
merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya.
“Tidaklah seorang dari kalian sempurna
imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya yang ia cintai untuk dirinya.”
(H.R Bukhari).
Itulah sahabat yang seusngguhnya, dimana
keikhlasan selalu ada untuk yang terbaik. Bukan amarah yang ditunjukkan. Masya Allah…..semoga
kita senantiasa mampu meneladani beliau.
Sahabat sejati adalah sahabat yang selalu
ada dalam hidup kita
Mengalir dalam aliran darah kita
Salju dalam hati dikala amarah
Kaya akan keikhlasan
Bukanlah membenarkan melainkan pembenaran
Disaat memang kita salah
Sahabat….
Bagaikan udara yang terus kita hirup
Selalu ada
Referensi:
Islam Itu Indah oleh Ustadzah Oki Setiana
Dewi
Kisah Salaf Muslim