Selasa, 09 Desember 2014

LUKA

Print Friendly and PDF
Semakin menjadi luka ini
tersakiti oleh emosi
yang seharusnya tak terjadi
benteng yang tlah kubangun
dengan penuh tegar sedari dulu
tapi kini runtuh sudah
hanya karna sebuah emosi
tak ada cerita
dan tak seharusnya pula ada cerita
semua bagaikan air
seperti pelakon diatas panggung teather
mengikuti apa yang ada pada skenario
skenario penuh misteri
hanya DIA yang tahu
kita hanya memerankan saja
aku kini terpenjara
dalam ruji penuh sesal
haruskah aku menyesal?
Apa yang aku sesalkan?
Bukan penyesalan mengenal dirimu
melainkan maya yang sepertimu
tak pantas dirimu tuk ku benci
karna kau terlalu indah tuk dibenci
bagai puisi aku
yang kan tetap hidup hingga saat ini
hanyalah ucapan terima kasih
yang dapat kuucap atas luka ini
yang mungkin memang itulah penawar luka ini

 terima kasih

Kesedihan

Print Friendly and PDF
Saat jiwa terasa sepi
mampukah kita berdiri
pada keramaian dunia
penuh pesona warna
saat hati mengabu
sanggupkah bibir ini tersenyum
simpan rapat kesedihan
tak seorangpun mengetahuinya
saat kaki mulai meletih
masih sanggupkah kita berlari
menuju garis finish itu
saat kesendirian merasuk
sanggupkah kita melepasnya
tanpa airmata kesedihan

Senja

Print Friendly and PDF
Angin menerpa wajah
menyeka sendu dalam sepi
gemuruh ombak menarik pasir
dan menghantam batu karang
langit tak biru lagi
seakan patuh terhadap surya
yang kini tak terasa menyengat
sejuk jingga merenggut siang
tergantikan oleh senja
yang slalu kurindu
karna malam akan datang
bersama hening damai jiwa

Minggu, 07 Desember 2014

Kober

Print Friendly and PDF

Desember tanggal  05 tahun 2010
Senja pada 17.30
Kober, Depok
Tempat dimana belum pernah aku jamah
Hati beriring  rasa  takut dan gelisah
Pertamakalinya kita bertemu kembali
Setelah seratus lebih purnama tak berjumpa
Aku masih ingat betul wajah itu
Nama itu
Semua  mengganggap  hanyalah imajinasiku belaka
Dan  akupun sempat berfikir  seperti itu
Meragu dengan apa  yang  kurasa
Tapi, senja itu
Di  tepi  jalan itu
Saksi bisu dari semuanya kalau kau memang nyata
Bukan sosok  dalam dunia mayaku
Karena aku yakin memang kau ada
Teman sepermainan dikala kecil
Masa itu...
Yang aku harap akan menjadi akhir
Dalam ceritaku dalam hariku
Entah syaitan apa yang slalu menggodaku
Hingga aku tetap bertahan
Pada satu nama
Yang sulit tuk musnahkan dalam hati
Bagai huruf paku pada pohon
Slalu membekas
Dan....
Berapa purnama lagi yang harus aku nanti
Akan hadirnya kau kembali
Entah menjadi KITA ataupun takkan menjadi KITA



 

Sabtu, 06 Desember 2014

Rasaku

Print Friendly and PDF
Aku tak ingat lagi
Kapan terakhir kali aku menangis
Disaat aku membunuh rasa rinduku
Enyahkan semua emosi yang terus bertahta
dalam kalbuku begitu hampa
Kali ini ada tetesan air mata
yang tak ku sadar tlah menggenang
dalam hatiku yang tengah damai
disaat angin menerpa keasaanku
Lenyapkan semua masa lalu
secara perlahan membunuh keegoanku
meski terkadang purnama menggodaku
kembalikan semua memory yang ada
Yang pernah terlintas dalam saksi bisu

Kamis, 04 Desember 2014

Cinta Terlarang Batman dan Robin

Print Friendly and PDF


 /1/
 Sudah tiga kali
Amir terbangun lepas tengah malam:
Pukul 2.00 dini hari
Diselimutinya istri
Ia cium keningnya.
Ia pun keluar kamar,
Duduk di sofa
Sendiri saja –
Gelap menyelimuti.
Rasa iba melecutnya –
Tangis tanpa suara
Membentur langit-langit
Berantakan jiwanya.
Enam bulan sudah ia berumah tangga
Tanpa gairah, tanpa bahagia.
Kepada ibunya dulu ketika sakit parah
Ia telah menyerah untuk menikah.
Dicobanya segala cara,
Ditempuhnya segala jalan,
Tetapi segalanya sia-sia.
Hidupnya bertambah celaka.
Ya Allah, apa gerangan salahku?
Mengapa raga pria yang Kau-anugerahkan padaku?
Namun hatiku sepenuhnya perempuan?
Lelah sudah aku memakai topeng.
Topeng lagi, topeng lagi…
Kasihan ibuku,
Kasihan istriku,
Kasihan aku,
Kasihan Bambang, kekasihku.

/2/
Disebutnya nama itu berkali kali,
Bambang, Bambang…
Keduanya dulu bersama-sama
Di sekolah menengah dan di kampus.
Lampu ia nyalakan
Dan dibukanya laci:
Foto, puisi, tulisan, aksesori,
Semua memicu kenangan cinta terlarang.
Sepuluh tahun sudah
Mereka selam-menyelam
Membina kasih sayang.
Tapi itu haram, kata orang.
Akhirnya Amir pun menikah
Dengan gadis pilihan Ibu,
Bambang mengikhlaskannya,
Bambang mengorbankan cintanya.
Dan lihat, ada dua cincin
Di jari Amir:
Untuk istri di jari kiri
Untuk Bambang di jari kanan.
Malam Sabtu yang terasa sesak,
Malam Sabtu yang penuh haru,
Penuh isak dan gejolak
Ketika terakhir kali mereka bertemu.
Saat itu Bambang memintanya memilih
Amir, kau tak bisa lagi sembunyi;
Kepada dunia luar, nyatakanlah diri
Buka topengmu, katakan kau seorang gay.
Tapi Amir tak sekuat Bambang.
Ia selalu ragu dengan naluri homoseksnya,
Ia ingin patuh ajaran agama,
Ia terlalu cinta ibunya yang sejak lama ditinggal mati Ayah.
Sampai kapan kau bersembunyi?
Sekali gay, kau tetap gay
Menunda, menghindar, menampik diri
Hanya menambah panjang rasa nyeri, Bambang meyakinkannya
Nasihat Bambang benar belaka
Tapi aku tak boleh cepat putus asa
Tuhan memberiku tubuh pria
Harus kuikuti ajaran agama, gumam Amir meyakinkan diri.
Ujar Bambang,
Kalau begitu kita harus berpisah, Sayang
Bagaikan sembilu rasanya janji
Untuk tidak bertemu lagi.
Amir, kata Bambang, aku pamit.
Jadilah suami yang baik.
Aku akan raib. Malam pun tercecap pahit.
Aku akan segera pindah ke lain kota.
Aku kekasihmu, bukan penghalang hidupmu,
Kata Bambang melanjutkan,
Ini cincin dariku. Tak usahlah kita berjumpa lagi
Meski cintaku padamu tak kunjung henti.
Amir coba menawar
Walau ia nanti menikah, jangan itu jadi penghalang
Bambang mengulangi mantra yang sering ia sihirkan,
Amir, dalam hidup jangan bertindak setengah-setengah!
Apa pun yang kau pilih, lakukan dengan hati penuh –seluruh!
Bambang lalu menghilang tak tahu rimba.
Amir hidup bersama istri,
Tapi hati dan angan-angannya melayang
Mencari Bambang –selalu.

/3/
Sejak dulu Ayah dan Ibu
Tak pernah tahu
Kalau anak laki-lakinya
Suka nangis sendirian saja.
Di sekolah ia selalu bertiga
Bersama Sarinah dan Bambang
Membaca buku agama
Menyimak kisah nabi.
Dihafalnya segala ajaran
Tapi ia suka diam-diam bertanya,
Kenapa aku tak terpikat pada Sarinah, ya?
Padahal banyak anak laki-laki mendekatinya.
Bambang yang kekar,
Bambang yang baik hati,
Telah masuk ke dalam hidupnya,
Telah menguasai angan-angannya.
Wahai, Amir dan Bambang!
Batman dan Robin dari  desa!
Begitu teman-teman menjuluki keduanya
Amir dan Bambang hanya senyum saja.
Bambang disebut Batman,
Karena ia jagoan
Berani berbeda
Keras prinsip hidupnya.
Sedangkan Amir seorang peragu
Goyah pendirian selalu;
Karena akrab dengan Bambang Sang Batman
Ia kebagian sebutan Robin.
Eros telah menyatukan keduanya
Di sekolah menengah
Siapakah yang mesti disalahkan?
Semua terjadi begitu saja, tanpa rencana.

/4/
Pernah, ketika Amir iseng bertanya
Kepada guru mengaji
Tentang cinta yang tumbuh
Di antara dua orang laki-laki.
Sang Guru langsung berkobar,
Itu terkutuk, neraka, laknat,
Sampah yang dikucilkan masyarakat!
Disemprotkannya segala sumpah-serapah.
Kisah al-Quran pun disampaikan:
Tersebutlah ada segerombolan laki-laki
Mengepung rumah Nabi Luth
Yang punya tamu seorang laki-laki.
Para pengepung itu meminta Luth
Merelakan tamunya untuk digauli;
Dengan tegas Luth menolak
Tuntutan mereka yang tak berakhlak.
Diingatkannya azab Allah akan menimpa,1
Tapi orang-orang itu balik mengancam.
Luth yang tak berdaya
Mohon perlindungan Yang Mahakuasa.
Maka para Malaikat pun datang
Dan Luth pergi malam itu juga.2
Kampung itu pun segera diluluh-lantakkan
Murka Allah kepada mereka yang menyimpang.
Berdebar hati Amir mendengar kisah itu!
Hari berganti hari
Ia memohon kepada-Nya
Agar dijauhkan dari musibah cinta terlarang.
Sejak lama disadarinya,
Dalam agama apa pun hubungan itu dilarang.
Yang ada hanya kutukan, cemooh, serta ancaman
Bagi laki-laki yang suka laki-laki.
Hubungan yang melawan kodrat,
Cinta yang tak membuahkan keturunan,
Perbuatan bejat
Yang menjadi sasaran kutukan Tuhan!3
Ya Allah, jangan biarkan hidupku celaka!
Kuinginkan jalan yang diridhoi
Jalan Allah yang dirintis para Nabi
Pedoman hidupku di bumi.

/5/
Dikuatkannya niat
Menerjang benteng naluri;
Ia ingin mencintai wanita
Dan membentuk keluarga sakinah.
Suatu sore di sebuah taman
Didekatinya Sarinah, dirangkulnya, dipeluknya,
Diciumnya – siapa tahu asmara bisa menyala –
Semuanya sia-sia.
Perempuan muda yang cerdas dan ayu itu
Tak menumbuhkan gelora rupanya;
Tak dirasakannya getaran
Tak dialaminya sengatan – hambar belaka!
Sarinah sejak lama menaruh hati padanya
Ia coba layani saja;
Amir ingin belajar mencintai wanita
Walau hatinya hanya tergetar oleh pria.
/6/
Sampai waktunya Amir dan Bambang
Pindah ke Jakarta menjadi mahasiswa.
Langit terasa makin terbuka
Dan semuanya tampak beda.
Dalam komunitasnya, Amir
Berkumpul dengan sesama jenis –
Lepas apa adanya.
Begitu saja, bercanda bertukar cerita.
Tanpa topeng.
Desainer baju, ahli mode
Yang kondang di seantero negeri
Ada di sana.
Mata Amir pun terbuka.
Tanpa topeng.
Beragam pula mereka tampilannya:
Lemah gemulai atau gagah perkasa,
Semua hadir
Bagai sungai, mengalir.
Tanpa topeng.
Amir melihat sebuah dunia
Yang hanya bisa dijelaskan
Dengan cara yang berbeda,
Yang sama sekali tanpa prasangka.
Tanpa topeng.
Banyak yang sudah melanglang dunia
Giat menuntut perlakuan yang setara
Bagi laki-laki yang hanya bisa bahagia
Kalau hidup dengan yang berjenis sama.
Tanpa topeng.
Ujar Leo, menjadi homoseks bisa sejak bayi
Itu akibat kelainan genetis sejak lahir.
Kondisi ini tidak diminta oleh mereka.
Menjadi gay tak bisa disalahkan secara moral 4
Alex bilang, menjadi homoseks bukan kejahatan;
Dulu wanita dan kulit hitam juga warga kelas dua,
Tapi kini mereka setara
Karena mereka berjuang.5
Tengok di negeri Paman Sam, kata Roi berapi-api,
Dulu kaum gay dikucilkan
Kini, di militer kaum gay
Tidak dianggap persoalan.6
Di negeri itu, beberapa negara bagian
Telah mensahkan pernikahan homoseks.
Presiden Obama pun membela mereka
Resmi di sebuah jamuan makan malam.7
Martin meyakinkan, Mustahil berjuang
Jika tak bangga dengan jati diri kita selaku kaum gay;
Tanpa perjuangan itu, di Indonesia
Kaum gay selalu dituding sebagai penyimpangan!
Hendro pun menyambung, Langkah pertama,
Mulailah terbuka kepada dunia luar bahwa kita gay.8
Yakinkan bahwa kita manusia seperti yang lain juga,
Kita bisa merasa luka, sepi, dan jatuh cinta;
Ajaklah mereka berdiskusi, bujuklah mereka
Membaca buku, memperhatikan berita, menonton film,9
Jelaskan bahwa kita tak mau lebih

Kecuali diakui sebagai manusia saja – sama seperti manusia lainnya.
Semua yang telah diucapkan itu
Menyusup ke dalam kesadaran Amir;
Ia pun jadi sering merenung.
Apa yang perlu aku khawatirkan dengan menjadi gay?
Aku sudah terlahir seperti ini
Menjadi gay mungkin karena unsur genetisku
Bukankah ini pemberian Tuhan juga
Yang harus aku syukuri?
Tapi ia ingat Ibu yang sangat dicintainya.
Perempuan itu pasti tak bisa menerima
Ia Muslimah sejati, dibesarkan di keluarga yang taat
Di sebuah desa yang terletak di tepi negeri.
Pasti akan hancur hatinya
Kalau mengetahui bahwa anak laki-lakinya
Mempunyai sikap dan perbuatan
Yang akan membuat Allah murka!
Diingatnya juga guru ngajinya dulu
Yang berkisah tentang Sodom dan Gomorah,
Tentang laknat Tuhan kepada kaum homoseks.
Oh, no way, no way, ujar Amir.
Badai menerjang batinnya
Dan tetap ia rahasiakan nalurinya.
Biar komunitas kecil saja yang mengerti
Rahasia yang mungkin tersimpan sampai mati.
 
/7/
Amir tak pernah menyerah menjalankan ajaran agama.
Dicarinya Sarinah.
Ia hidup-hidupkan nyala api cintanya
Ia sangat ingin mencintai wanita.
Sarinah perempuan cerdas,
Gelagat itu semakin jelas ditangkapnya:
Amir ternyata hanya bisa ceria
Kalau Bambang ada di sampingnya.
Demikianlah maka hubungan
Antara Amir dan Sarinah semakin hambar;
Sarinah merasa tak nyaman
Akhirnya pergi juga meninggalkannya.
Amir berusaha menjadi laki-laki
Bagi Sarinah,
Tapi sia-sia:
Hatinya tak bisa direkayasa.

/8/
Kembali Amir di simpang jalan:
Bingung yang mana mesti ditempuh,
Yang kiri atau yang kanan.
Hatinya kembali rapuh.
Dibacanya buku pemberian Bambang
Tentang 100 tokoh homoseks dunia;
Orang-orang menjadikan mereka teladan
Sejarah telah mencatat keunggulan mereka.10
Saatnya aku terbuka bahwa aku seorang gay,
Setidaknya kepada ibuku dulu,
Ibu yang melahirkanku,
Ibu berhak tahu diriku apa adanya, ujar Amir.
Amir sudah memilih kata
Pengakuan akan disampaikan
Disusunnya cerita dan alasan
Penjelasan yang baik akan mengurangi pilu Ibu, pikir Amir.
Tapi niat Amir untuk mengaku
Diurungkannya kembali.
Saat itu sedang populer film Philadelphia;
Tergambar kaitan homoseks dengan AIDS, penyakit yang mematikan!
Amir mengumpat diri sendiri – sering
Bolak-balik berubah pendirian,
Mampus kau hati yang ragu
Hidupku tertawan kembali oleh topeng
Topeng lagi, topeng lagi…

/9/
Ibu Amir sudah curiga;
Kelainan yang diderita anaknya – semata wayang;
Tapi sebagai seorang ibu bijak
Ia ingin anaknya sendiri yang cerita.
Sikap Ibu akhirnya terkuak
Saat itu ia menderita penyakit berkepanjangan
Yang menyebabkan ia berpikir
Akan segera menyusul almarhum suaminya.
Waktu itu dokter memanggil Amir
Untuk mendampingi ibunya yang berjuang
Menghadapi akhir hidupnya.
Entah kapan, Tuhan yang menentukan semua, kata dokter.
Dokter yang bijaksana itu menyarankan
Agar Amir menggali keinginan Ibu
Yang masih terpendam.
Agar tak ada keinginan yang hanya tersimpan
Terbawa ke makam.
Saran dokter diterimanya. Tapi apa yang didengarnya?
Ibu justru ingin menggali pengakuan Amir,
Nak, ini waktu yang baik
Sampaikanlah rahasia dirimu yang terdalam, jika ada.
Dua keinginan bertempur kencang sekali di dada Amir
Ia merasa Tuhan sudah mengatur.
Sebelum kematian, Ibu harus tahu aku gay
Saatnya topeng kubuka untuk ibuku sendiri.
Tapi Amir tak ingin Ibu bertambah luka,
Itu menambah cepat malaikat menyabut nyawa.
Hatinya berdetak kencang
berlomba dengan detik jam;
Ia serba salah.
Amir tercekik, diam seribu bahasa.
Keluarlah aslinya, Amir yang peragu.
Akhirnya, ia hanya menitikkan air mata,
Aku hanya ingin kau bahagia, Ibu.
Akhirnya hanya itu yang Amir utarakan
Bukan pengakuan diri – lalu senyap
Tak kuasa ia buka topengnya di depan Ibu yang menjemput ajal.
Ia hardik dirinya sendiri
Mengapa tetap tak berani terbuka.
Tapi lagi-lagi ia hibur diri
Itu karena ia terlalu cinta ibunya.
Ibu tahu kelainan Amir
Anaknya semata wayang tumbuh sebagai homoseks;
Ibu hanya menyimpan prasangka itu rapat di hati
Amir tak tahu jika ibunya tahu.
Tapi sebagai Muslimah,
Ibu tetap berikhtiar agar Amir berubah menjadi lelaki normal,
Tak ada yang mustahil di bawah awan.
Apalagi doa seorang ibu menjelang ajal, pikir Ibu
Solusi harus tetap ia berikan untuk anak semata wayang.
Dengan lirih tapi bertenaga Ibu sampaikan wasiat,
Ibu ingin kau menikah
Melihatmu berumah tangga,
Hanya itu yang membuat Ibu bahagia, pinta ibunya.
Tiga bukit yang perkasa
Mendadak memberati punggungnya,
Angin taufan yang mangaduk samudra
Mengguncang-guncang sukmanya.

/10/
Bagaimana jika kau menikah dengan Rini? tanya Ibu.
Rini itu murid kesayangan Ibu,
Parasnya ayu
Kedua orang tuanya sudah tiada
Ia tinggal bersama pamannya yang miskin.
Bagaimana aku sekarang mesti bicara?
Apa yang bisa kuungkapkan
Di hadapan bunda tercinta
Yang ajalnya mungkin segera tiba?
Amir tak henti bicara kepada diri sendiri,
Bisakah hatiku nanti tergetar oleh Rini?
Ia pun terkenang Sarinah yang sudah pergi
Ia pun teringat Bambang, kekasih hati.
Ya, Allah, ujar Amir dalam diri,
Kasihanilah ibuku,
Kasihanilah diriku ini.
Mampukah aku melumatkan kerasnya batu?
Amir menguraikan simpul dalam benaknya
Dan berkata dengan santun,
Baik, Ibu, aku akan berumah tangga.
Dengan Rini, ya Nak, pinta ibunya lagi.
Demikianlah maka sejuta paku
Bagai gerimis entah dari mana
Menyusup ke dalam urat darah
Melumpuhkan semangatnya.

/11/
Ibu pergi menghadap Sang Khalik,
Innalillahi wa inna illaihi rojiun.
Namun, pesan Ibu harus ditunaikan.
Dan pernikahan pun dilangsungkan.
Seperti yang ia duga:
Apa pun yang diusahakannya
Tak juga tergetar hatinya oleh Rini
Meski Rini sudah habis-habisan mengabdi.
Mereka hidup sebagai keluarga umumnya,
Pergi bersama ke mana-mana.
Tetapi arus yang berada di dasar laut
Siapa gerangan bisa menghayati?
Hari-hari menjelma neraka,
Pagi, siang, dan malam bagaikan bara,
Kenapa hati tidak mau berdamai
Kenapa tak bahagia dengan istri yang setia?
Amir merindukan sebuah lompatan!
Dan setelah melewati perenungan panjang
Tegas-tegas diambilnya keputusan:
Saatnya aku harus jujur: membuka topeng!
Walau besok langit runtuh – tak kupeduli!
Harus kuungkapkan sekarang juga
Siapa gerangan diriku yang sejati
Topeng harus kubuka!
Berulang kali kata-kata itu diucapkannya
Sehinga menjelma mantra;
Dirinya pun tersihir –
Yakin sudah ia akan langkahnya.
Pertama-tama diungkapkannya semua
Di depan pusara bundanya
Ketika ia menziarahinya sore itu.
Meraung-raung kesetanan ia.
Ibu, dengarkan baik-baik, ya Ibu,
Anakmu laki-laki ini seorang homoseks.
Aku seorang homoseks, Ibu!
Sudah kulawan naluriku selama ini
Tapi tak mampu aku!
Aku tetap seorang homoseks!
Maafkanlah aku, Ibu.
(Rumputan sekitar makam tersentak
Angin di pohon kemboja diam mendadak;
Namun langit tetap biru
Dan awan dengan tenang lalu.
Ibu di alam sana
Tersenyum mendengar pengakuan anaknya
Kejujuran yang ditunggunya sejak lama
Akhirnya dinyatakan juga
Anaknya berani membuka topeng
Walau terlambat karena Ibu sudah menjadi jasad.)

/12/
Jam menunjukkan pukul 4.00 subuh.
Amir masih duduk di beranda:
Dibayangkannya kembali lelaki yang dicintainya,
Bambang, di mana kini kau berada?

Amir sangat pasti
Ia dan Bambang kembali bersama
Seperti dulu ketika di sekolah menengah, ketika di kampus.
Dibayangkannya dua sungai melebur menjadi satu samudra.
Betapa senangnya Bambang
Aku sudah sedia membuka topeng
Tak lagi setengah-setengah!
Oh, betapa dunia akan berbeda.

Kembali Amir melangkah ke kamar,
Diusapnya rambut istri
Diciumnya kening istri – hatinya sudah bulat:
Apa yang terjadi, terjadilah!
Berterus-terang kepada yang mati: ibunya.
Berterus-terang kepada yang hidup: istrinya,
Keluarganya, siapa saja.
Lima belas tahun sudah ia mencoba bersembunyi.
Amir sama sekali tak tahu
Apakah istrinya bisa menerima itu –
Istrinya masih mendengkur
Sejam lagi matahari terbit di Timur.
Ditatapnya istrinya dengan lembut
Tak ada niat menyakitimu sayang,
Tapi hatiku tidaklah normal – apa daya?
Amir menitikkan air mata – mencium lalu merapikan selimut istri.
Tak sabar ia menunggu pagi
Segera mencari tahu di mana Bambang berada;
Sudah begitu lama, ya, begitu lama
Ia tak bertemu dengannya.
Teringat apa kata kakek
Saat ia masih di Taman Kanak-kanak,
Tuhan Maha Mendengar,
Apa pun niatmu, mulailah dengan doa.
Dilafalkannya doa khusyuk dari hati,
Ya Allah, Kau jadikan ragaku lelaki
Tapi hatiku sepenuhnya perempuan,
Kini ikhlas kuterima semuanya
Bantu aku ya Allah memulai hidup baru.
Amir membuka tirai jendela
Fajar baru menyingsing
Disambutnya pagi yang baru
Tak sabar ingin dimulainya dunia yang baru.

/13/
Sudah seminggu Amir tak jumpa istri
Ia sudah cerita tentang diri utuh seluruh;
Tak ia duga, Rini yang pengabdi kini penentang.
Rini pergi meninggalkan rumah. Entah ke mana.
Sudah sebulan Amir mencari Bambang,
Aneka tempat sudah ia kunjungi.
Simpang-siur terdengar Bambang tak lagi di Indonesia.
Terdengar kabar angin Bambang kini aktivis gay internasional.
Akhirnya kabar pasti soal Bambang ia terima.
Bambang kini menetap di San Francisco
Menjadi warga negara Amerika Serikat,
Menikah resmi dengan sesama jenis asal Los Angeles – di gereja sana.11
Sejak pisah dengan Amir, Bambang melanglang buana.
Bambang punya semangat superhero seperti Batman
Berani mengejar matahari
Berani diterpa badai.
Amir patah tak terhingga;
Langkah Bambang mestinya mudah diduga
Ia salahkan dirinya yang ragu – selalu.
Ia kecam hatinya yang bimbang – melulu.
Teringat malam terakhir bersama Bambang.
Seandainya sejak dulu aku membuka topeng
Bambang pasti tetap di Jakarta
Hidup bersama sampai menua, rintih Amir.
Hatinya terbelah mengenang Bambang
Sebagian luka dan marah
Sebagian bangga:
Bambang berani melangkah sejauh elang terbang
Mengangkasa
Jiwanya memang seperti Batman superhero!
Mengapa aku celaka dalam soal cinta, keluhnya.
Dua cincin masih melingkar di jarinya:
Satu untuk Rini, satu dari Bambang –
Kini keduanya pergi.
Malam setengah purnama di tepi pantai.
Sudah lama Amir terdiam di sana,
Laut makin pasang
Bercampur dengan air matanya.
Cahaya muncul dari jauh
Dari tengah laut seolah ada yang memanggil
Mengajaknya tenggelam bersama
Untuk menghilang dari dunia.
Amir masuk ke laut berjalan ke tengah,
Ia yang ragu tempatnya hanya di dasar samudera, keluhnya.
Ia hujat dirinya sendiri
Ia sesali hidupnya sendiri
Ia terus berjalan ke tengah
Air laut sudah sampai sedada.
Tiba-tiba terdengar azan Subuh mengumandang.
Beribu gambar seperti film tayang di pikirannya:
Pesantren, guru ngaji, ibunya, Rini, Bambang
Ada tawa, ada tangis, ada kehangatan, ada rasa sepi mencekam.
Waktu satu detik terasa seabad
Ia hilang sejenak.
Lalu Amir tersadar.
Ia lihat dirinya hampir tenggelam.
Terdiam, ia berbalik badan, buru-buru kembali ke pantai.
Ampun ya Allah, apa yang aku lakukan?
Tersedu sedan ia rebahkan diri ke pasir
Dipukul-pukulnya pantai sambil menyebut satu nama: Ibu, Ibu…
Bantu anakmu tegak kembali.
(Ibu di alam sana kembali tersenyum
Anaknya memang tengah luka
Tapi itu hanya awal menjadi perkasa
Karena Amir sudah berani terbuka pada dunia).
***
#Posted on March 26, 2012
http://puisi-esai.com/2012/03/26/cinta-terlarang-batman-dan-robin/

Rabu, 03 Desember 2014

Sapu Tangan Fang Yin

Print Friendly and PDF
/1/
Ditatapnya sekali lagi sapu tangan itu,
tak lagi putih; tiga belas tahun berlalu.
Korek api di tangan, siap membakarnya
menjadi abu masa lalu.
Namun, sebelum api menjilat, hatinya bergetar;
Ditiupnya api itu – terdiam ia dalam senyap malam.
Dibukanya jendela kamar: kelam langit Los Angeles
Yang dihuninya sejak 13 tahun lalu.
Terlintas ingatan minggu pertama di kamar ini
Ketika setiap malam ia menangis;
Ya, panggil saja ia Fang Yin – hamparan rumput harum artinya.
Nama sebenarnya dirahasiakan, menunggu sampai semua reda.
Waktu itu usianya dua puluh dua
Terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya
Setelah diperkosa segerombolan orang
Tahun 1998, dalam sebuah huru-hara.
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri.
Ribuan keturunan Tionghoa1 meninggalkan Indonesia:
Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa tatanan
Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan.2

/2/
Hari itu negeri berjalan tanpa pemerintah
Hukum ditelantarkan, huru-hara di mana-mana
Yang terdengar hanya teriakan
Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak terkendalikan.
Langit menghitam oleh kobaran asap
Dari rumah-rumah dan pertokoan –
Semua terkesima, tak ada yang merasa siap
Melindungi diri sendiri dari keganasan.
Ada keluarga yang memilih bunuh diri
Di hadapan para penjarah yang matanya bagai api
Yang siap menerkam; yang siap merampas apa saja
Yang siap memperkosa perempuan tak berdaya.
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin
Kepada dirinya sendiri, yang hidupnya telah dirampas
Yang tak lagi bisa merasakan sejuknya angin
Sebab kebahagiaannya tinggal ampas.
Waktu itu terdengar anjing melolong panjang
Seperti minta tolong aparat keamanan;
Mereka melemparkan binatang itu ke kolam
Menggelepar-gelepar: airnya pun memerah.

/3/
Fang Yin sekeluarga mengungsi ke Amerika
Bersama sejumlah warga keturunan Tionghoa;
Mereka tinggal berdekatan di New York, Philadelphia,
Los Angeles, New Jersey – bagaikan perkampungan Indonesia.
Minggu-minggu pertama di Amerika
Fang Yin belum sadar apa sebenarnya yang terjadi
Raga dan jiwanya lemah, perlu pemulihan dari dahsyatnya trauma,
Ke mana pun ia pergi, orang tuanya dan seorang psikolog mendampingi.
Setelah tiga bulan hidupnya menjadi normal.
Ia pun ikut kursus bahasa Inggris, ingin meneruskan kuliah.
Namun Fang Yin sudah berubah –
Ia tak lagi ceria, suka menyendiri saja.
Ketika seorang pemuda Korea mendekatinya
Fang Yin malah menjauh, khawatir kalau-kalau tak berbeda
Dengan Kho, pacarnya dulu di Jakarta,
Yang meninggalkannya setelah tahu ia diperkosa.
13 tahun sudah ia di Amerika, tumbuh keinginannya
Untuk pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia;
Waktu itu usianya menginjak tiga puluh lima
Ia ingin memulai hidup baru, membangun keluarga.
Ingin punya suami, ingin punya anak
Rindu kampung halaman tempat ia dilahirkan dan dibesarkan
Rindu teman-teman remaja, rindu masa-masa menghabiskan waktu
Jalan-jalan dan bercanda ria di Mal Citraland.
Tapi kemarahannya pada Indonesia masih menyala
Trauma diperkosa masih berujud horor baginya.
Fang Yin membatalkan niatnya untuk kembali
Baginya Indonesia masa silam yang kelam
Kenangan pada Kho membekas di benaknya.
Tak ia ketahui di mana kini pemuda itu berada.
Dibukanya secarik surat yang sejak 12 tahun lalu
Akan dikirimkannya ke pemuda itu, tapi selalu dibatalkannya.
Kho, apa kabarmu
Aku sendiri di sini
Dulu katamu akan menemaniku
Terutama di kala susah
Itu sebabnya kuterima cintamu
Aku sangat susah hati, Kho
Aku ingin dengar suaramu.
Ia sering coba menghubunginya lewat telepon
Tak pernah ada jawaban, bagai raib begitu saja.
Mungkin Kho juga mengungsi, tapi entah ke mana
Fang Yin tidak pernah tahu lagi tentangnya.
Satu-satunya kenangan dari Kho
Yang sampai sekarang masih disimpannya
Adalah selembar sapu tangan
Yang saat ini ia genggam erat-erat, merisaukannya.

/4/
Ingin ia bakar selembar kenangan itu
Saksi satu-satunya, sisa trauma masa lalu
Selama ini disimpannya diam-diam setangan itu
Tak ingin ada orang lain mengganggu.
Ditatapnya kembali sapu tangan itu
Ia sentuh permukaannya, masih terasa
Bekas air mata yang tetes demi tetes membasahinya dulu
Bagian abadi dari hidupnya.
Setahun lalu psikolognya, warga Amerika, bilang
Ia nyaris sembuh. Dan akan lengkap sembuhnya
Jika ia ikhlas menerima masa lalu yang telah hilang
Sebagai bagian dari permainan nasib manusia.
Kepada psikolog itu Fang Yin berhutang nyawa.
Beberapa kali perempuan itu nyaris bunuh diri
Tetapi karena ia menemaninya setiap hari
Jiwa anak keluarga kaya itu pun beranjak sembuh kembali.
Ia ulang-ulang mantra psikolog itu,
Ia coba pahami apa yang ada di balik kata-katanya:
Terimalah kenyataan apa adanya!
Berdamailah dengan masa lalu.
Di bulan ke empat, ia mulai rasakan khasiat
Masa lalu tidak lagi menjadi bom di kepala
Namun kenangan itu bagai tawon yang tak henti menyengat
Tidak dengan mudah minggat.

/5/
Ditatapnya kembali sapu tangan itu:
Tampak tayangan sinema di permukaannya:
Tergambar rumahnya di Kapuk, Jakarta Utara
Sebuah bangunan yang tinggi temboknya.
Berjajar di samping rumah-rumah lain
Yang pagarnya seakan berlomba
Mana yang paling tinggi, mana yang paling kokoh.
Semua dihuni warga keturunan Tionghoa.3
Namun, tembok setinggi apa pun
Ternyata tak mampu mengamankannya
Tak mampu membendung gelombang huru-hara
Yang membakar Jakarta.
Hari itu Selasa 12 Mei 1998.
Fang Yin tidak kuliah, di rumah saja;
Ia hanya menonton televisi
Semuanya menyiarkan berita itu-itu juga.
Mimbar bebas di kampus-kampus
Unjuk rasa di mana-mana
Menuntut Soeharto turun
Dianggap tak mampu pulihkan ekonomi negara.
Perusahaan-perusahaan gulung tikar
Pengangguran merajalela
Harga barang-barang pokok melambung
Nilai rupiah semakin terpuruk.
Gerakan mahasiswa yang mula-mula hanya unjuk rasa
Gerakan Reformasi mula-mula namanya
Segera berubah menjadi gelombang besar demonstrasi
Tak bisa dibendung lagi.
Sore hari, Selasa 12 Mei
Di depan Universitas Trisakti
Empat mahasiswa tewas tertembak:
Malam pun mencekam, gejolak merebak.
Rabu 13 Mei 1998
Ribuan mahasiswa berkumpul
Di Universitas Trisakti
Duka cita berbaur teriakan kerumunan massa.
Tak diketahui dari mana rimbanya
Siang hari semakin dipenuhi massa
Dan, tiba-tiba saja, sekelompok orang
Membakar ban-ban bekas di tengah jalan.
Asap hitam pun membubung tinggi
Truk yang melintas dihentikan massa
Dan teriakan bergema, semakin liar:
Bakar! bakar!
Massa bagai kerumunan semut
Merangsek ke tengah-tengah kota
Turun dari truk-truk yang muncul tiba-tiba
Entah dari mana datangnya.
Teriakan pun berubah arahnya
Dan terdengar Bakar Cina! Bakar Cina!
Gerombolan yang tegap dan gagah
Menyisir toko, kantor, dan pemukiman Tionghoa.
Mereka memasuki rumah-rumah kaum sipit mata
Menyeret para penghuninya, menghajar para pria
Memperkosa perempuannya. Dan semakin siang
Semakin tak terbilang jumlahnya.
Ditemani seorang pembantu, Fang Yin menyaksikan
Adegan demi adegan horor itu di televisi. Ketakutan menyergapnya!
Ia telepon ayahnya di kantor, tak bisa pulang
Jalanan dipenuhi massa, tak terbilang.

/6/
Hantu yang ditakutinya pun menjelma –
Didengarnya suara-suara memekakkan telinga
Segerombolan orang merusak pagar rumahnya
Mereka masuk dan membunuh anjing herdernya.
Pembantunya sempat berteriak, lalu terkapar
Oleh para berandal itu ia dihajar.
Fang Yin lari mengunci diri di dalam kamar
Berteriak, melolong, meminta tolong.
Tak ada yang mendengar. Mungkin tetangganya
Juga tengah menghadapi ketakutan yang sama.
Pintu kamar Fang Yin didobrak, masuklah lima pria
Bertubuh tegap – ke ranjang mereka menyeretnya.
Rambutnya dijambak
Pakaiannya dikoyak-moyak
Dan dengan kasar
Mereka pun memukul, menampar.
Fang Yin pun menjerit, mohon ampun,
Jangan…Jangan…
Saya punya uang.
Ampun. Jangan.
Bagai sekawanan serigala mereka:
Seseorang memegang kaki kirinya
Seorang lagi merentang kaki kanannya
Yang lain menindih tubuhnya.
Wahai, terenggut sudah kehormatannya!
Yang lain bersiap menunggu giliran
Ganas seringainya, tak ada belas
Bagi seorang perawan.
Fang Yin meronta sebisa-bisanya
Berteriak sekuat-kuatnya
Bergerak-gerak mempertahankan kehormatannya
Memukul, menjambak sekenanya.
Di antara sakit dan cemas yang tiada taranya
Sempat didengarnya para berandal tertawa
Melahapnya: Hihihihi, hahahaha
Fang Yin pun kehilangan kesadarannya.

/7/
Fang Yin, ya, Fang Yin yang malang –
Ketika dibukanya mata
Didapatinya dirinya terbaring
Di rumah sakit.
Saat itu Kho, pacarnya, datang menjenguk
Memberinya sapu tangan;
Fang Yin menghapus tetes air matanya –
Sapu tangan itulah yang setia menyertainya.
Tersimpan di sapu tangan itu tetes air matanya yang pertama
Tetes air matanya yang kedua
Tetes air matanya yang kesepuluh
Tetes air matanya yang keseribu
Tersimpan pula di sana malam-malamnya yang sepi
Ketika ia meminta Tuhan membuatnya mati saja
Ketika ia merasa diri lunglai, tak lagi bertulang
Sapu tangan itu merekam seperti buku diary.
Rina, sahabat dekatnya, membelainya
Yang menyertai Kho menjenguknya.
Rina sangat memahaminya,
Rina banyak membantunya.
Infus mengalir di sebelah tangannya
Ayah dan ibunya menangis memeluknya;
Fang Yin mengingat-ingat apa yang terjadi
Membayangkan apa yang telah dialami.
Memar tersebar di sekujur tubuh
Dan teringatlah: ia telah diperkosa!4
Fang Yin menjerit kuat sekali
Seisi rumah sakit mendengarnya,
Tolong…tolong…
Ampun, ya Tuhan
Tolong aku
Ampun, ampun…

/8/
Jakarta lautan api! Di mana pula aparat keamanan?
Tak tampak sama sekali.
Kerusuhan pun menjalar liar
Bagaikan api, bagaikan ular.
Warga Jakarta terkesima.
Begitu banyak orang-orang datang
Begitu saja, entah dari mana
Tak ada yang kenal mereka.
Didrop truk di lokasi tertentu
Mereka kekar dan tegap –
Mereka merusak, mereka membakar,
Mereka menjarah – dan massa pun terpancing.
Dan ketika kerumunan semakin banyak
Dan ketika tak ada lagi aturan yang tegak
Para penjarah meninggalkan lokasi –
Massa pun mengamuk tanpa sebab yang pasti.
Mereka berebut menjarah, saling mendahului
Tunggang-langgang, tindih-menindih terjebak api
Dalam bangunan yang menyala-nyala
Terpanggang hidup-hidup – dan tewas sia-sia.5

/9/
Fang Yin dan keluarga tidak paham politik
Apa lagi masalah militer.6
Mereka cari nafkah berdagang saja
Dan ketika bingung, tak tahu harus mengadu ke mana.
Bumi Indonesia gonjang-ganjing, langit berkilat-kilat
Sedangkan Presiden Soeharto berada di Mesir sana;
Situasi menjadi semakin parah
Menanti Sang Presiden kembali.
Tahun 1998, tanggal 15 Mei
Pukul 4.30 dini hari
Soeharto menyatakan tak bersedia mundur;
Ketegangan memuncak, ketenteraman pun hancur.
Warga Tionghoa yang mulai tenang
Kembali khawatir kalau huru-hara kembali datang;
Mereka jual barang-barang mereka, banting harga
Bersiap-siap hengkang ke mancanegara.
Di rumah sakit, Fang Yin masih terbaring lemah.
Ia menduga kerusuhan akan kembali terjadi
Dan orang-orang tegap yang brangasan
Akan memperkosanya lagi.
Papi, apa salah saya? Kenapa saya diperkosa?
Apa salah saya, Papi?
Ayahnya tak menjawab,
Dipeluknya anaknya erat-erat.
Kho, pacarnya, terdiam dan mulai dingin sikapnya.
Fang Yin menjerit-jerit –
Seorang guru spiritual coba menghentikannya
Mengajarkan keikhlasan Konghucu.
Disampaikannya hakikat shio;
Fang Yin adalah gadis Naga, dan 1998 adalah Macan –
Naga kurang beruntung di tahun itu
Dan harus menerima dengan dada terbuka.
Diuraikannya prinsip Ren Dao
Ajaran tentang hubungan antarmanusia;
Ya, sebuah kitab kecil, Kitab Meng Zi:
Dan dibacakannya,
Dengarkan:
Yang tidak susila jangan dilihat
Yang tidak susila jangan didengar
Yang tidak susila jangan dibicarakan.
Dengan penuh kasih dipegangnya kening Fang Yin
Ia tatap matanya, dialirkannya enerji,
Ditumbuhkannya semangat hidup,
Dan dengan tenang dikatakannya,
Fang Yin, Ini bencana sudah terjadi
Lupakan saja. Mulailah hidup baru –
Keikhlasan akan mengalahkan kemalangan
Keyakinan akan mengalahkan derita.
Di televisi rumah sakit, Fang Yin mendengar diskusi:
Dalam sejarah Indonesia, warga Tionghoa
Acap jadi korban amuk massa.7
Uhhhh… Fang Yin tidak paham sejarah.

/10/ Demikianlah seminggu setelah peristiwa
Fang Yin dan keluarga terbang ke Amerika;
Bukan karena tidak cinta Indonesia, kata ayahnya,
Tetapi keadaanlah yang telah memaksa.
Ayah bercerita tentang kerabat kakek buyut mereka
Pejuang kemerdekaan, sahabat Bung Karno;
Sie Kok Liong namanya
Pemilik Gedung Kramat 106.
Di gedung itu dulu diselenggarakan Kongres Pemuda
Yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928;
Apa gerangan arti Indonesia bagi Fang Yin dan keluarganya?
Mereka harus hengkang demi keselamatan jiwa.

/11/
Kini 13 tahun setelah musibah itu
Fang Yin mendengar Indonesia sudah stabil kembali;
Beberapa warga keturunan Tionghoa menjadi menteri
Tradisi Imlek diberi hak hidup seperti dulu lagi.
Barongsai bebas melanggak-lenggok,
Koran berbahasa Cina sudah boleh beredar
Program berbahasa Cina ditayangkan di televisi.
Agama Konghucu sudah diakui.8
Komunitas Tionghoa Indonesia di manca negara
Kadang jumpa, berbagi cerita tentang Imlek dan segala rupa;
Sudah banyak yang ganti negeri
Menjadi warga Amerika, Singapura, dan lain-lainnya.
Tampaknya, bagi mereka Indonesia adalah masa silam
Yang kelam hitam;
Namun, Imlek masih tetap menyatukan mereka
Walau berbeda agama dan negara.
Ayah Fang Yin teguh pendirian
Pantang jadi warga negara lain;
Kepada Fang Yin ayahnya sering berpesan
Dan mewanti-wanti,
Fang Yin, kau anak Indonesia sejati
Jangan pindah menjadi warga lain negeri.
Ayahnya mendapatkan rezeki di Indonesia
Pada waktunya harus kembali ke sana.
Dan ia tentu saja marah ketika diketahuinya
Fang Yin sudah pindah warga negara;
Paspor Amerika Serikat sudah di tangannya,
Prosesnya dibantu oleh seorang pengacara.
Fang Yin banyak diberi tahu ayahnya tentang Indonesia
Agar tumbuh kembali cinta tanah airnya
Negeri yang sejak dulu mereka bela –
Sejak zaman pergerakan yang melibatkan buyutnya.
Fang Yin adalah gadis yang rajin membaca:
Perpustakaan menyediakan segala macam buku,
Buku menyediakan segala macam ilmu,
Dan ilmu akan bisa mengubah manusia.
Tetapi gadis itu sudah pasti dengan dirinya
Tak ingin melihat Indonesia lagi;
Ayahnya sudah putus asa
Meyakinkan Fang Yin untuk kembali.
Dan ketika Ayah pulang ke Indonesia
Fang Yin tetap berkeras hati
Untuk tinggal di Amerika Serikat sendiri –
Budaya modern pegangannya, kebebasan sandarannya.
Fang Yin suka perlindungan hukum
Itu sebabnya ia marah kepada Indonesia;
Fang Yin tak suka kekerasan
Itu perkara ia benci Indonesia.
Namun, karang pun bisa goyah oleh ombak besar:
Samudra bisa menjadi padang pasir
Apa yang tak berubah di bawah Matahari?
Nasihat ayahnya sudah begitu dalam berakar.
Amerika hanyalah tempat sementara untuk singgah
Tapi kita lahir di Indonesia, jadi mati sebaiknya di sana –
Luka masa silam harus dilawan
Cinta Ibu Pertiwi harus ditumbuhkan.
Dan selangkah demi selangkah, dengan susah payah
Kemarahan Fang Yin pun mulai reda
Walau kesedihan atas huru-hara itu
Masih membayang seperti hantu.
Fang Yin mulai tumbuh jati diri
Bertahun buku filsafat, sastra, agama, politik dilahapnya;
Ilmu pengetahuan memahatnya
Derita panjang masa silam justru melezatkan sikap hidupnya.
Dan sesudah tiga belas tahun berlalu
Fang Yin mulai merasakan rindu.
Terkenang kampung halaman, masa remaja di Jakarta;
Tak sadar, disebutnya nama Albert Kho, cinta pertamanya.
Di manakah engkau kini, pujaan hatiku?
Sejak kepindahannya ke Amerika,
Mereka tak pernah lagi menjalin hubungan;
Hanya sapu tangan itu yang kini tersisa.
Selentingan ia dengar kabar, Kho sudah berkeluarga
Rina nama istrinya, dulu sahabat kental Fang Yin –
Ia juga seorang keturunan Tionghoa;
Keduanya telah menjadi Muslim dan Muslimah.
Terbayang olehnya saat Kho dan Rina
Menjenguknya di rumah sakit dulu;
Fang Yin hanya bisa diam, menyimpan kepedihan
Ditinggal orang yang sudah sangat lekat di hati.

/12/
Fang Yin kembali berlutut di hadapan sapu tangan,
Korek api ia nyalakan –
Ingin dibakarnya sisa kenangan pacarnya dulu:
Masa silam harus segera dihapus dari ingatan.
Albert Kho harus pula aku lupakan, katanya.
Tangan yang memegang korek kembali gemetar;
Ia ketakutan, seolah api itu akan menghanguskan dirinya;
Dan api pun tak jadi berkobar.
Fang Yin menangis.
Mula-mula perlahan, lama-lama semakin mengiris –
Ditahan-tahankannya
Agar tak ada orang lain mendengar.
Ia nyalakan lagi korek api –
Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu;
Api menyala, sapu tangan terbakar
Ia melihat seluruh dirinya yang lama menjadi abu.
Masa silam terbakar,
Derita panjang ikut terbakar,
Cinta pada Kho terbakar
Cemburu pada Rina pun lenyap terbakar.
Dan kemarahannya pada Indonesia?
Terbakar sudah, bagai ritus penyucian diri;
Semesta seolah berhenti
Waktu senyap – lama sekali.
Dan sapu tangan pun jadi seonggok abu.
Fang Yin merasa lahir kembali
Jadi perempuan yang sama sekali baru
Bersih dari kengerian masa lalu.
Air mata menetes mengiringi api,
Sapu tangan tak ada lagi.
Ia kini berhasil berdamai dengan masa silam
Ia kini berhasil menjadi Fang Yin yang baru.
Khusyuk ia berdoa: Ya Tuhan, tumbuhkan keberanian
Aku berniat kembali ke Ibu Pertiwi
Ijinkan kuhabiskan sisa hidup di sana
Tanah yang melahirkanku, jadikan juga tanah yang nanti menguburku.

/13/
Apa arti Indonesia bagi Fang Yin?
Lahir di sana tak ia minta
Ketika trauma masih menganga
Indonesia hanya kubangan luka.
Kini ia melihat Indonesia dengan mata berbeda
Negeri itu menjadi cermin dirinya yang terus berubah
Ia ingin seperti buyutnya
Lahir, cari nafkah, berjuang lalu mati di sana.
Indonesia masuk lagi dalam kalbunya
Seperti nyiur yang melambai-lambai
Mengimbaunya untuk segera pulang!
Fang Yin merasakan rindu, menitikkan air mata.
Menurut kalender Cina, 2012 adalah Shio Naga
Akan baik peruntungannya;
Ia rindu masa remaja,
Ia rindu tempat dulu menghabiskan senja di Jakarta.
13 tahun lalu, ia datang ke Amerika
Membawa kemarahan yang sangat
Membawa dendam kesumat
Kepada Indonesia.
Kini ia ingin pulang, rindunya membara
Ia ingin Indonesia seperti dirinya: menang melawan masa lalu
Musibah dan bencana datang tak terduga
Yang penting harus tetap punya mimpi.
Ini Indonesia baru, katanya, kata mereka.
Ya, ya – niatnya pun teguh: Aku segera kembali ke sana!
Aku segera pulang ke sana!
Aku segera hidup di sana!
***

Purnama Merindu

Print Friendly and PDF
Terpahat dengan sendirinya
Nama itu yangg slalu ada dihati
Purnama demi purnama
tlah kulalui bersama bintang
Dengan keheningan malamAku dan kamu
Entah berapa purnama lagi
Akan menjadi kita 
Sudah 100purnama lebih
Namun belum jua terhapus
Saat bintang hadir dikala purnama menghilang 

Langit seakan tetap indah
Dan kini purnama kembali
Diantara bintang-bintang
Hiasi hati ketika larut
Dan purnama itu terlihat sangat indah
Meski ada bintang tetap purnama yang ku rindu